ELISTON FRANSISKUS NADEAK

Rabu, 31 Maret 2010

EKONOMI RAKYAT TERTINDAS OLEH SATPOL PP

SATPOL PP di kota Cimahi benar-benar merupakan bos pelaksana harian kebijakan pemkot. Dengan uang tunjangan penggusuran sebesar Rp 600.000/orang yang dibayarkan rapel Rp 7.200.000 di akhir tahun lalu, benar-benar para SATPOL PP yang bukan pribumi dengan tega kepada rakyat dan setia loyal kepada pemkot penggaji, melaksanakan tugas dengan tertib. Apalagi PERDA K3 yang mengancam sebagian besar warga asli 3 kecamatan Cimahi dengan denda Rp 50 juta atau 6 bulan penjara jika berjualan di atas trotoar, melegitimasi keberingasan SATPOL PP kota Cimahi dalam membersihkan kota dari penghidupan tradisional demi pembangunan kota, walau dalam pelaksanaannya operasi SATPOL PP banyak menyimpang dari jiwa K3 (ketertiban, Keindahan, Kebersihan dan K-K lain yang mudah ditambahkan : keindahan, kenyamanan, keasrian,dll.

Bahkan di malam Tahun Baru pun, PKL-PKL di Gandawijaya dirazia. Walau korban materi tidak signifikan, hanya berupa 6 kursi dari gerobak nasi goreng, spanduk/kain penutup roda, namun 6 KTP milik para pedagang disita oleh SATPOL PP. Namun kali ini para pedagang sudah terlalu lelah untuk mau menebus KTPnya, karena biasanya dipungut Rp 50.000 untuk menebus KTP mereka. Padahal biaya membuat KTP baru di kantor kecamatan hanya Rp 7.50O. alhasil kini beberapa warga yang sudah berpuluh tahun bergenerasi tinggal di Cimahi tidak memiliki KTP. Razia yang dilakukan pk 21.30 malam tersebut bermakna intimidasi dan ganjaran kepada PKL yang berani berjualan di atas trotoar Jl Gandawijaya. Benar-benar rupanya pemkot Cimahi tidak memiliki kemauan untuk memelihara penghidupan masyarakat Cimahi yang sudah pas-pasan sejak penggusuran Gandawijaya 2005.

Peraturan yang dikumandangkan senantiasa oleh pihak penguasa adalah dilarang berjualan diatas trotoar dan bahu jalan protocol. Namun ternyata razia perlengkapan jualan, kursi, kompor, timbangan dll, penggusuran dan pengangkutan gerobak dan barang dagangan PKL juga dilakukan di jl. Terusan Babakan Cimahi, meskipun Jl.Terusan bukanlah jalan protocol, tidak ada trotoarnya dan sama sekali tidak beraspal. Setelah beberapa kali kena operasi, akhirnya sekitar 50an PKL berembuk dan menemukan kesepakatan dengan para SATPOL PP. Setiap PKL memberi setoran Rp 1.000/hari untuk SATPOL PP. Sejak itu berhentilah penggusuran di Jl. Terusan. Jika demikian, penggusuran untuk K3 atau uang saku SATPOL PP? juga tanpa tanda terima atau surat tugas resmi.

Ada lagi bentuk kesewenangan yang ganjil dari SATPOL PP. Di jalan protocol, pak Dadang dengan mengaku sebagai kepala bagian penindakan SATPOL PP menyisir pertokoan dan di salah satu toko Handphone sempat menyobek-nyobek puluhan brosur dan pamplet yang tertempel di dinding toko. Menurut pelayan toko, salah satu calon kuat pengganti kepala SATPOL PP sepensiunan Sutarman sebentar lagi itu, menuntut toko untuk membayar kepada pemkot Cimahi untuk setiap brosur, bahan-bahan iklan dan bahkan selebaran-selebaran yang terpajang di rak plastic di atas counter. Teguran yang dilakukan dengan keras ini tentu saja mengeruhkan iklim investasi di kota Cimahi.

Di luar kesewenangan yang bebas tersebut, kebiasaan rutin pasukan truk SATPOL PP yang memagari Pasar Antri Baru dari PKL buah-buahan terus berlanjut setiap jam kantor. Alhasil, puluhan PKL yang sesungguhnya adalah sisa hidup dari korban penghancuran Pasar Antri 2004 yang terlunta-lunta itu setiap hari kucing-kucingan dalam menjajakan barangnya. Beberapa PKL sempat menyaksikan kepedihan dan tidak terimanya mereka atas perlakuan, perkataan, tindasan, hentakan kasar dari anggota SATPOL PP. Padahal hancurnya perekonomian Pasar Antri dan maraknya PKL adalah bagian kesalahan konsepsi dari pemkot dan panitia pembangunan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A) pada 2004, sehingga tidak seharusnya pemkot menanggungkan kesalahan perhitungan bisnis Cimahi Mallnya kepada PKL yang menjadi korban dari kebijakan bodoh mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar